Minggu, 10 Juni 2012

salah satu contoh berukhuwah di dalam keluarga :)

Di perjalanan, pemuda itu terbiasa menyapa dan mengajak bicara siapa saja yang berdiri didekatnya ataupun duduk di sebelahnya. Hari itu, yang duduk disampingnya dalam penerbangan Jakarta-Singapura tampak tak biasa. Seorang ibu. Sudah cukup sepuh dengan keriput wajah mulai menggayut. Kerudungnya kusut. Sandalnya jepit sederhana. Dan dalam pandangan si pemuda, beliau tampak agak udik. Tenaga kerjakah ? Setua ini ?
Tetapi begitu si pemuda menyapa, si ibu tersenyum padanya dan tampaklah raut muka yang sumringah dan merdeka. Sekilas, garis-garis ketuaan di wajahnya menjelma menjadi semburat cahaya kebijaksanaan. Si pemuda takjub.


“Ibu hendak kemana?” tanyanya sambil tersenyum ta’zhim
“Singapura Nak,” senyum sang ibu bersahaja.
“Akan bekerja atau….?”
“Bukan Nak. Anak Ibu yang nomor dua bekerja disana. Ini mau menengok cucu. Kebetulan menantu Ibu baru saja melahirkan putra kedua mereka”
Si pemuda sudah merasa tak enak atas pertanyaannya barusan. Kini ia mencoba berhati-hati.


“Oh, putra Ibu sudah lama bekerja disana?”
“Alhamdulillah, lumayan. Sekarang katanya sudah jadi Permanent Resident begitu. Ibu juga nggak ngerti apa maksudnya, hehe..yang jelas disana jadi arsitek. Tukang gambar gedung.”


Si pemuda tertegun. Arsitek? PR di Singapura? Hebat!.
“Oh iya, putra Ibu ada berapa?”
“Alhamdulillah Nak, ada empat. Yang di Singapura ini, yang nomor dua. Yang nomor tiga sudah tugas jadi dokter bedah di Jakarta. Yang nomor empat sedang ambil S2 di Jerman. Dia dapat beasiswa.”
“Masya Allah..Luarbiasa. Alangkah bahagia menjadi Ibu dari putra-putra yang sukses. Saya kagum sekali pada Ibu yang berhasil mendidik mereka.” si pemuda mengerjap mata dan mendecakan lidah.


Si Ibu mengangguk-angguk dan berulangkali berucap “Alhamdulillah.” Lirih. Matanya berkaca-kaca.


“Oh iya, maaf Bu..Bagaimana dengan putra Ibu yang pertama?”
Si Ibu menundukan kepala. Sejenak tangannya memainkan sabuk keselamatan yang terpasang di pinggang. Lalu dia tatap lekat-lekat si pemuda.
“Dia tinggal di kampung Nak, bersama dengan Ibu. Dia bertani, meneruskan menggarap secuil sawah peninggalan bapaknya.” si Ibu terdiam. Beliau menghela nafas panjang, menegakkan kepala. Tapi kemudian menggeleng, menerawang ke arah jendela sambil mengulum senyum yang entah apa artinya. Si pemuda menyesal telah bertanya. Betul-betul menyesal. Dia ikut prihatin.


“Maaf Bu, kalau pertanyaan saya menyinggung Ibu. Ibu mungkin jadi sedih karena tidak bisa membanggakan putra pertama Ibu sebagaimana putra-putra Ibu yang lain.”
lalu serta merta sang Ibu berkata…


“Oh tidak Nak. Bukan begitu…!” si Ibu cepat-cepat menatap tajam namun lembut pada si pemuda. lalu berkata…


“Ibu justru sangat bangga pada putra pertama Ibu itu. Sangat-sangat bangga. Sangat-sangat bangga!” Si Ibu menepuk-nepuk pundak si pemuda dengan mata berbinar seolah dialah sang putra pertama.


“Ibu bangga sekali padanya, karena dialah yang rela membanting tulang dan menguras tenaga untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan dialah yang senantiasa mendorong, menasehati, dan mengirimi surat penyemangat saat mereka di rantau. Tanpa dia, adik-adiknya takkan mungkin jadi seperti sekarang ini!” sang Ibu terisak.


Sunyi. Tak ada kata.


Pemuda itu mengambil sapu tangan. Genangan di matanya tumpah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar